Ciuman Pertama Aruna

IV-164. Cidera?



IV-164. Cidera?

0Menyadari pintu kamar istrinya tak tertutup serapat semula, dia meninggalkan Wisnu yang kini kembali mendapatkan serangan dari seorang lawan yang berhasil menemukan kesadaran.     

"Sial!" Mahendra membuka pintu dan mendapati seseorang ada di dalam. Lelaki dengan jaket hitam berdiri di dekat ranjang, terlihat mengamati tidur istrinya. Dan, entah mengapa, pria tersebut terkesan tertarik terhadap tubuh di atas pembaringan itu.     

Apakah dia mengira yang berada di dalam ruangan ini adalah Rey?. Namun, kenyataannya bukan putra Barga yang berada di sana.     

Konon kabarnya, sayembara yang ditawarkan keluarga Barga beserta kroni-kroninya demi menemukan keberadaan Rey—baik hidup maupun mati, nilainya sangat fantastis.     

Mahendra berjalan mengendap, layaknya singa yang telah menemukan mangsanya dan siap untuk menerkam bidikannya. Melepas dasi merah yang melilit telapak tangan, dia kian dekat dengan pria yang secara mengejutkan mengangkat tangannya. Lelaki bermata biru itu sadar perilaku tersebut artinya apa. Gerakan yang tentu saja bakal berbuah hantaman, kalau saja dia tidak lekas melilitkan dasi—yang berada di tangannya—pada leher pria berjaket hitam tersebut.     

"Aargh!!" suara pria berjaket hitam yang terjerat lehernya, memekik. Berjalan mundur terseret oleh cara lelaki bermata biru yang menariknya ke arah pintu.     

Meraup-raup sesuatu yang ada pada lehernya, lelaki tersebut terjatuh di lantai. Sebab, kakinya menghantam sesuatu dalam gelap. Sembari merintih dan meronta, pria yang memasuki kamar nona muda keluarga Djoyodiningrat tersebut diseret tanpa ampun.     

Berusaha mencengkram tangan sang penyerang—yang tak lain adalah Mahendra—si pria berjaket hitam kewalahan. Sekuat apapun lengan tuan muda Djoyodiningrat digores oleh kukunya, maupun sengaja di hantam berulang, kenyataannya tak mampu mengusik keteguhan Mahendra.     

Teriakan dan erangan kesakitan, rintihan, hingga ratapan penuh permohonan, tak merubah apapun. Kecuali satu hal, dan itu adalah panggilan bernada bingung, "Hendra?," suara perempuan yang membuka mata akibat jatuhnya benda, termasuk pekikan kesakitan seseorang yang dibawa Mahendra menuju pintu.     

"Tutup matamu dan kubur dirimu di dalam selimut. Tidur yang nyenyak sayang, kau hanya mimpi buruk," tanpa penjelasan panjang lebar, Aruna paham ada sesuatu yang tak layak dilihat dan didengar. Dalam kondisi gelap serta kegaduhan yang mencekam, hanya suara Mahendra dan sekelebat tubuh yang tertangkap di ujung pintulah, yang membuat perempuan ini menemukan ketenangan yang janggal.     

Dia yang dalam kondisi tubuh tak baik-baik saja, menyadari tak bisa berbuat apa pun, selain menerima kenyataan saran suaminya yang terbaik.     

Aruna dalam keremangan cahaya, mendengarkan erangan seseorang yang awalnya penuh gejolak, lama-lama melemah, kemudian membisu. Semoga benar mimpi buruk, pikirnya.     

Mencengkeram selimut yang membalut separuh tubuhnya dengan tangan kiri, perempuan hamil ini benar-benar mengubur dirinya dan menutup matanya. Mengucapkan mantra-mantra doa dengan tujuan bisa mengalihkan konsentrasinya terhadap pintu yang di tendang kasar dan tubuh yang diseret keluar.     

Kini, pintu tertutup kembali. Segalanya menjadi hening, gelap dan tentu saja mencekam.     

"Tidurlah, sayang. Yang barusan hanya mimpi buruk," sekali lagi, Aruna mendengarkan kalimat ini. Tangannya di raih oleh lelaki yang tak lain adalah suaminya. Ada rasa kecupan pada ujung-ujung jemari dan elusan lembut di dahinya.     

Lampu yang gelap gulita berubah temaram. Dia yang baru melepas genggaman di tangan Aruna, bangkit dari duduknya, menyalakan lampu tidur yang menyajikan warna hangat di sela-sela langit-langit ruangan yang bersusun dua sap.     

Mahendra memutari ranjang, tatkala dia menyadari gerakannya diamati oleh istrinya. Pria tersebut berhenti sejenak. Membalik arah tubuhnya dan berakhir menghadap Aruna, keduannya bertautan mata.     

Netra coklat itu memindai segala yang melekat di tubuh suaminya. Dan, beberapa bagian pada ruangan yang tak dipungkiri bahwa terdapat kursi tergeletak di lantai. Tentu ada tenaga di luar kewajaran, sehingga benda itu berada pada posisi terkapar di selasar.      

Namun, lelaki dengan mata biru di hadapannya malah menciptakan sebuah garis di bibirnya. Lesung pipinya menyapa Aruna. Ia tersenyum menenangkan, dengan tangan kanan  konsisten di belakang punggung.     

"Aku mau di pulang," pinta Aruna.     

"Perawatanmu belum tuntas," ujar Mahendra.     

"Bukankah aku perempuan dengan suami yang konon memiliki aset tak terbatas nilainya?, aku yakin dia bisa menghadirkan perawatan di rumah induk kami," manik mata lawan bicara Aruna terbuka lebih lebar.     

"Oke," kemudian lelaki ini mengangguk, "Kapan istriku ingin pulang?".     

"Malam ini juga," sempat terhenyak, sejalan kemudian Mahendra mengangguk dalam-dalam. Sebelum melanjutkan langkahnya memasuki toilet ruang rawat inap VVIP rumah sakit Salemba.      

.      

.      

Malam bergulir, menunjukkan fajar bakal menyongsong sebentar lagi. Aruna merasa tubuhnya bergerak bersama sebuah ranjang beroda yang bergeser membawanya.      

Perempuan ini membuka matanya dan menyadari dirinya melaju bersama benda beroda, melintasi lorong menurun menuju arah keluar dari bangunan rumah sakit. Dan, benar, sesaat berikutnya dia bisa melihat langit. Masih gelap, namun tak segelap petang.     

Hawa dingin dini hari dan embun pagi yang menyapa wajahnya terasa nyaman, sesaat sebelum ranjangnya di dorong mendekati ambulan dengan pintu belakang terbuka. Aruna melihat suaminya berada di dalam kendaraan tersebut.     

Tak ingin melihat kecanggungan Mahendra yang selalu menuntut kesempurnaan dalam setiap tindakannya, alias dapat dipastikan jika lelaki bermata biru tersebut tentu mengharapkan dirinya terbangun di ranjang mereka pada rumah induk. Alih-alih membuka mata saat perpindahan tubuhnya di langsungkan.     

Aruna, untuk kesekian kalinya, kembali menerapkan metode pura-pura tidur yang dulu selalu dia manfaatkan demi menanggulangi rayuan Mahendra untuk di malam-malam sebelum pernikahan mereka menjadi jelas kemana arah dan tujuannya.     

***     

"Ayah anda masih menunggu kedatangan tuan muda dan istrinya," suara Andos, selepas bertemu dengan Gayatri pada salah satu restoran kelas pertama yang dimiliki bangunan bertingkat Djoyo Rizt Hotel.     

Lelaki paruh baya yang masih gigih memegang norma-norma turun temurun keluarganya, tinggal pada lantai tertinggi hotel tersebut. Kabarnya, dia belum tidur. Sempat mengeluh panjang tentang obat dan kacamata yang tertinggal, termasuk beberapa benda lain yang dilupakan asistennya.     

"Saya terlanjur mengabarkan, bahwa putra anda dan nona Aruna akan menghadap. Tuan Wiryo jadi marah pada saya, sebab info yang saya bawa tak akurat," keluhnya.     

"Hendra dan Aruna berangkat sejak pagi dan belum pulang. Aku tak tahu pasti kemana mereka pergi. Nanti, akan aku beri tahu apa alasannya. Semoga alasan mereka masuk akal, supaya papiku segera sadar, dan pulang," jelas Gayatri.     

"Mengapa anda tak coba membawa oma untuk meluluhkan tetua?," Andos coba memberi saran.     

"Oma tak akan sudi. Dia yang meminta lelaki tua itu pergi dan tentu saja, oma enggan menarik omongannya. Terlebih selama ini, oma yang selalu mengalah. Kali ini, sepertinya oma sungguh ingin bertahan tanpa memberi ruang pada dirinya untuk mengalah. Dia butuh tahu sejauh mana suaminya benar-benar bisa tinggal sendirian di luar,"  Gayatri menghela nafas, selepas mengutarakan pendapatnya.     

Andos tampak ikut kewalahan membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya. Ekspresi wajah lelah disuguhkan asisten pribadi tetua Wiryo tersebut, sebelum sang nona keluarga Djoyodiningrat meninggalkan dirinya malam ini bersama pria yang tiap saat memanggilnya, membutuhkan sesuatu yang kadang kala tampak mengada-ngada. Dia menjadi kekanak-kanakan, sebab tak terbiasa tidur sendirian.      

.      

.      

"Tetua, cucu anda tidak jadi datang semalam, sebab istrinya cedera," ungkap Andos pagi hari, tepat ketika lelaki tua keras kepala tersebut hendak sarapan, selepas membersihkan diri.     

Menanggalkan koran dari tangannya, Wiryo melipat surat kabar tersebut dan meletakkannya di atas meja yang menghidangkan makanan khas hotel bintang lima, "Cedera?" dia memastikan, "Aruna cedera?" sekali lagi, Andos mengiyakan dengan membuat anggukan, "Bagaimana dengan bayinya?" suaranya yang berat menyajikan getaran ...  ... ...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.